Dedy Luqmanul Hakim

Dedy Luqmanul Hakim
Keluarga Besar SMP Islam Terpadu Luqmanul Hakim

Senin, 08 Oktober 2012

Sekolah Lantai




Minggu, 7 Oktober 2012 08:16 WIB

Karya  Masriadi Sambo

HARI ini, aku bersama 23 siswa lainnya dinyatakan naik ke kelas dua  Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berdiri dua  tahun lalu itu berstatus negeri. Kami murid perdana. Terlalu jauh jika kami harus sekolah di kota. Sekitar 100 kilometer dari kampung ini, menaiki tiga bukit terjal dan melewati dua sungai. Akibatnya, warga kampung pasrah  dan tak mau sekolah. Alasan lainnya, setamat sekolah pun warga tetap menjadi petani. Ingin jadi pegawai negeri, harus sogok sana-sini.

Naik ke kelas bukanlah kabar baik. Pagi tadi, Kepala Sekolah Bu Tuti menyatakan kelas kami ditempati siswa baru. “Kasihan lah sama adik kelas kalian. Mereka menggunakan ruang kelas kalian, karena di situ ada kursi dan meja. Kalian mengalahlah. Sabar Nak. Kalian terpaksa belajar di lantai untuk sementara waktu.”

Mata Bu Tuti berlinang. Bulingan jernih menetes di pipi. Meski sekolah ini berstatus negeri, kami tak memiliki apa-apa. Sekolah ini memiliki tiga ruang kelas plus satu ruang guru. Guru pun membawa meja dan kursi dari rumah masing-masing. Pemerintah membantu kursi dan meja untuk satu kelas. “Kalian mau kan duduk di lantai. Buat sementara saja. Ibu sedang berusaha meminta ke kabupaten,” ujarnya lirih.

***

HUJAN turun perlahan ketika aku tiba di sekolah. Sebagian teman duduk di bawah pohon bambu di belakang kelas. Menunggu pelajaran dimulai. Mereka murung. Kami menyapu dan mengepel lantai kelas agar tak berdebu. Tak punya tikar. Harus menggunakan kertas bekas sebagai alas. Duduk di lantai tidak nyaman.

Kami harus bersekolah. Kampung ini harus maju ke depan. Sebagian areal desa kami telah menjadi perkebunan milik negara. Namun, kami tetap saja miskin. Abu bilang jika mau sukses harus sekolah agar menjadi pintar dan diterima di dunia kerja. Itu cita-cita kami warga kampung ini.

“Generasi kami kurang beruntung. Kalian harus lebih baik. Kami ini tenaga bakti, gaji Rp 350.000 per bulan. Untuk bensin sepeda motor saja tidak cukup. Kami ikhlas mengajar kalian. Masak kalian tidak ikhlas belajar. Kita tetap semangat,” ujar Bu Aisyah, guru pelajaran agama Islam menyemangati.  Di sekolah hanya kepala sekolah kami berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Guru lainnya berasal dari warga kampung yang sudah menyelesaikan pendidikan di kota. Mereka mengabdikan ilmunya di kampung ini, meski gaji tak seberapa.

Selain itu, sekolah tak memiliki pagar. Sesekali sepasang babi hutan membawa anak-anaknya bermain di halaman sekolah. Jika sudah begitu, kami lari ke kelas, meninggalkan rumpun bambu tempat paling nyaman untuk berteduh.

***

Suatu hari, datang pria tua, penuh uban, berkacamata hitam. Saat itu kami duduk di kelas tiga. Artinya, dua tahun kami belajar di lantai. Pria tua itu berbincang sejenak dengan kepala sekolah. Wajah kepala sekolah tampak kurang senang terhadap pria itu.

“Bapak itu datang dari kota. Dia mau mengajak kalian mencoblos salah satu pasangan pada pemilihan bupati nanti. Ibu tak bisa melarang dia masuk ke sekolah ini. Namun, ibu hanya mengatakan, kalian jangan terpengaruh. Pilihlah orang yang kalian suka, dengan program kerja yang jelas,” sebut Bu Tuti.

Si Bapak Tua pun berceramah. Berjanji jika terpilih, maka kandidat yang diusungnya akan membangun sekolah itu dan berlantai keramik. “Tak perlu duduk di debu. Kalian harus mendapatkan perlakuan yang sama seperti siswa di kota,” ujar Bapak Tua. Kami hanya terdiam.

Hari pemilihan bupati pun tiba. Kandidat yang diusung si Bapak Tua menang mutlak di desa kami. Sebulan kemudian kandidat itu dilantik jadi bupati. Bulan berganti. Semakin lama, sekolah ini semakin keropos. Atap mulai bocor,jika hujan, kami pun terpaksa menampung air dengan ember. Lalu belajar lagi. Janji tim sukses calon bupati itu tak pernah terbukti. Warga kampung merasa ditipu. Kami berduka untuk pemimpin pendusta.

***

Waktu bergulir. Aku dan 23 temanku sepakat meninggalkan kampung. Kami melanjutkan pendidikan di kota. Kami melanjutkan pendidikan di berbagai bidang ilmu. Dari kedokteran sampai politik.  “Kita harus sukses. Cari uang di kota, bawa pulang ke kampung. Kampung itu harus makmur. Abu dan umi kita harus punya lahan sendiri. Tidak perlu lagi menjadi buruh di perkebunan negara,” kataku pada teman-teman.

35 tahun sudah kami meninggalkan kampung. Sebagian besar teman-teman sudah berkeluarga. Ada yang menjadi dokter, psikolog, bekerja di bank dan lain sebagainya. Setiap tahun kami pulang kampung. Kami patungan untuk membangun sekolah. Seluruh mobiler sekolah sudah memadai. Namun, jalan desa berkubang dan berlumpur tak mampu kami perbaiki. Butuh dana miliaran untuk membangun jalan aspal dari kampung ke ibukota kecamatan.

“Harus ada dari kita yang menjadi bupati. Jika tidak, orang kampung tak akan pernah maju. Bupati selama ini selalu dari orang kota. Mereka hanya berpikir sampai di ibukota kecamatan. Kita selalu dilupakan. Seakan kita bukan warga kabupaten ini.”

Strategi pemenangan disusun. Ridwan kami jagokan menjadi bupati. Dia lama di luar negeri. Namun, pandangannya terhadap kampung tetap seperti Ridwan yang dulu. Kampung harus maju. Pemilihan bupati setahun lagi. Kami terus bekerja. Mengampanyekan bahwa kampung wajib berkembang. Dana kampanye kami keluarkan dari kantung sendiri. Hari pemilihan pun tiba. Ridwan terpilih.

Kini, dia hidup mewah. Kekayaan berlimpah. Puluhan hektare tanah dan ruko tercatat sebagai miliknya. Namun, satu hal yang dia lupa. Dia melupakan kampung halamannya. Jika kemarau, kampung itu tetap berdebu, berlumpur jika musim penghujan. Warga tetap miskin dan menjadi buruh perkebunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar